Puasa di bulan Ramadan merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat Islam yang bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan. Namun, ada berbagai hal yang dapat mengurangi atau bahkan menggugurkan pahala puasa, salah satunya adalah ghibah. Ghibah atau menggunjing orang lain dikecam dalam Islam karena dapat merusak hubungan sosial dan mengotori hati.
Secara bahasa, ghibah berarti menyebutkan keburukan
seseorang yang jika ia mendengarnya, ia akan merasa tidak senang. Rasulullah ﷺ
menjelaskan dalam sebuah hadits:
“Tahukah kalian apa itu ghibah? Mereka menjawab, ‘Allah
dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Beliau berkata, ‘Yaitu engkau menyebut
saudaramu dengan sesuatu yang ia benci.’ Seseorang bertanya, ‘Bagaimana jika
yang aku katakan itu benar?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Jika benar, berarti engkau
telah menggunjingnya, dan jika tidak benar, maka engkau telah memfitnahnya.’”
(HR. Muslim No. 2589)
Berdasarkan kesepakan ulama ghibah bahkan hukumnya
diharamkan, Rasulullah juga menyamakan ghibah dengan sama saja memakan daging saudara
sendiri yang telah mati. Artinya itu adalah hal yang menjijikan.
Perlu kita waspadai jika Ghibah mencakup berbagai bentuk,
baik dalam lisan maupun tulisan. Meski kita tidak membicarakan secara lisan
namun menggunakan tulisan atau hate comment di sosial media juga bisa termasuk
kedalam ghibah.
Sudah jelas kita ketahui jika mekakukan ghibah saat tidak
berpuasa saja dilarang lalu bagaimana jika saat berpuasa? Apakah akan
membatalkan puasa?
Pada dasarnya puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan
dahaga, tetapi juga menahan diri dari segala bentuk perbuatan yang bisa
mengurangi nilai ibadah tersebut. Setidaknya ada lima hal yang dapat mengugurkan
pahala puasa berdasarkan hadist rasulullah
“Diriwayatkan dari
Anas ra, Rasulullah saw. bersabda : Ada lima perbuatan yang menghapus pahala
puasa, yaitu : berbohong, menggunjing, mengadu orang, bersumpah palsu dan
memandang lain jenis dengan syahwat”.
Hal ini dijelaskan oleh Imam An-Nawawi (wafat 676 H), dalam
kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab:
“Apabila seseorang
melakukan ghibah saat puasa, maka ia berdosa dan tidak batal puasanya menurut
pandangan kita (mazhab Syafi’i), hal ini juga selaras dengan yang dikemukakan
oleh mazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali. Kecuali menurut pandangan Imam
Al-Auza’i,menurutnya puasa batal disebabkan perbuatan ghibah dan wajib untuk
diqadha.”
(Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’
Syarhul Muhaddzab, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz VI, halaman 356).
Pendapat yang dilontarkan oleh An-Nawawi ini kemudian
didukung dengan pernyataan Syekh Sa’id bin Muhammad Baisyan (wafat 1270 H)
dalam kitabnya:
فَإِذَا اغْتَابَ مَثَلًا حَصَلَ عَلَيْهِ إِثْمُ الْغِيْبَةِ
لِذَاتِهَا، وَبَطَلَ ثَوَابُ الصَّوْمِ لَا الصَّوْمُ بِمُخَالَفَةِ الْأَمْرِ
الْمَنْدُوْبِ بِتَنْزِيْهِ الصَّوْمِ عَنْهَا، كَمَا دَلَّتْ عَلَيْهِ
الْأَحَادِيْثُ، وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِي وَالْأَصْحَابُ
Artinya: “Apabila seseorang menggunjing (semisal), maka otomatis hasil dosa menggunjing dan pahala puasanya batal. Namun tidak dengan puasanya, sebab hanya menyimpang dari perkara sunah dimana dianjurkan agar menghindarkan puasa dari hal-hal itu (menggunjing), sebagaimana pemahaman beberapa hadits dan telah dijelaskan oleh Imam Asy-Syafi’i dan Ashabnya.” (Said bin Muhammad Baisyan, Busyral Karim bi Syarhi Masailit Ta’lim, [Jeddah: Dar Al-Minhaj], halaman 565).
Berdasarkan refrensi diatas maka Ghibah menurut tinjauan
fiqih dalam kondisi puasa, hukum puasanya tetap sah, hanya saja ia tidak
memperoleh pahala ibadah puasa. Oleh karena itu, umat Muslim harus menjaga
lisan dan tulisan dalam bentuk kebencian ataupun membuat hoax, terutama saat
berpuasa, agar ibadahnya benar-benar diterima oleh Allah SWT.
Apabila tidak sengaja melakukan ghibah saat berpuasa, segera istighfar. Kemudian berjanji untuk tidak mengulanginya, dan jika memungkinkan meminta maaf kepada orang yang telah dibicarakan. Kita juga perlu menjaga lingkungan kita dengan menghindari perkumpulan yang sering membicarakan orang lain, karena dosanya tetap sama meski kita hanya mendengarkan ghibah tanpa menegur atau menghindarinya.