Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan untuk menuju tempat tertentu dalam jangka waktu tertentu. Dalam islam, musafir memiliki kedudukan kekhususan dengan aturan dan keringanan tertentu dalam menjalankan kewajiban. Berikut beberapa keringanan atau kemudahan bagi musafir :
Seorang musafir diperbolehkan untuk mengqosor atau meringkas shalatnya. Meringkas shalat disini maksudnya adalah mengurangi jumlah empat rakaat menjadi dua rakaat.
Allah SWT berfirman, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisa: 101)
Shalat yang boleh diqoshor yang disepakati oleh para ulama yaitu shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya. Imam Ahmad rahimahullah menambahkan, “Kecuali shalat Maghrib, sesungguhnya ia adalah witirnya shalat siang, dan kecuali shalat Subuh, sesungguhnya di dalam shalat tersebut dipanjangkan bacaannya.”
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa shalat Maghrib dan Subuh tidak boleh diqoshor.”
Menurut Imam Asy-Syafi’i ra., seorang musafir diberikan kemudahan untuk menjamka shalat atau menggabungkan dua shalat pada salah satu waktunya. Diperbolehkan untuk menggabungkan shalat Dzuhur dan Ashar pada salah satu waktunya, serta shalat Maghrib dan Isya.
Untuk menjamak shalat, berikut adalah langkah-langkahnya:
Shalat Dzuhur dan Ashar dijamak pada waktu Dzuhur atau Ashar, dengan menunaikan 4 rakaat shalat Dzuhur dan 4 rakaat shalat Ashar. atau bisa juga di qasr sehingga menjadi dua rakaat dzuhur dan 2 rakaat ashar. Shalat Maghrib dan Isya dijamak pada waktu Magrib atau Isya, dengan menunaikan 3 rakaat shalat Maghrib dan 2 rakaat shalat Isya1.
Seorang musafir diperbolehkan tidak puasa ramadhan, namun diwajibkan untuk menggantinya sebanyak hari yang ia tinggalakan
“dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah : 185)
Salah satu dari delapan golongan penerima zakat adalah ibnu sabil. Ibnu sabil adal musafir yang kehabisan bekal dalam perjalanan sehingga menyulitkan untuk pulang kampung.
Itulah beberapa keringanan yang didapatkan seorang musafir
Rukhsah dalam pelaksanaan salat fardu bagi musafir merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya. Di samping itu, kemudahan tersebut membuktikan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan bagi pemeluknya.
Hal ini tergambar dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 185 sebagai berikut:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur,” (QS. Al Baqarah [2]: 185).
Pemberian keringanan kepada musafir menunjukkan sifat keadilan dan kemanusiaan dalam Islam. Agama ini memahami bahwa setiap individu memiliki beban dan kondisi hidup yang berbeda, dan oleh karena itu, memberikan kelonggaran sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing.
Imam Syafii dalam Fikih Manhaji menjelaskan bahwa perjalanan ibarat sepotong azab. Orang sering kehilangan hidup nyaman dan normal dalam perjalanan. Maka dari itu, Allah SWT banyak sekali memberikan keringanan hukum kepada musafir dan menunjukkan cara agar keringanan itu dapat dimanfaatkan.
Keringanan yang diberikan kepada musafir tidak bermaksud untuk mengurangi ketaatan terhadap Allah, melainkan memberikan kemudahan agar individu dapat menjalankan ibadah dengan hati yang tenang dan fokus.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 78, "Wa maa ja'ala alaikum fiddini min harajin,". Yang artinya, "Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama,".