Rp 160.004.188
Stigma negatif yang
diterima penyandang disabilitas sering kali membuat mereka kesulitan mencari
pekerjaan, padahal para penyadandang disabilitas juga mempunyai keluarga yang
harus dinafkahi, salah satunya adalah Ibu Kulsum, asal Kabupaten Cirebon, Jawa
Barat.
Bersama dengan suami
yang juga menyandang penyakit polio sejak lahir, Bu Kulsum berjuang untuk
menafkahi 3 anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Saat ini anak pertama
Bu Kulsum sedang melanjutkan pendidikan menengah di sebuah pondok, sedangkan
kedua adiknya masih bersekolah di SD, yakni kelas 5 dan kelas 2.
Walaupun terlahir hanya
dengan 1 kaki, Bu Kulsum tidak pernah menyerah untuk menjalani hidup. Setiap
hari Bu Kulsum tekun menjajakan dagangannya berkeliling kampung dibantu oleh
tongkat.
“Kami memang mempunyai kekurangan tapi kami juga masih mempunyai semangat yang tinggi untuk bekerja dan menafkahi keluarga kami,” ucap beliau.
Mulai dari pukul 3 dini
hari, Bu Kulsum sudah mulai memasak untuk mempersiapkan makanan yang akan
dijualnya. Setelah seluruh dagangannya siap untuk dijual, pada pukul 7 pagi Bu
Kulsum mulai menjajakan dagangannya di Sekolah Dasar, kemudian pada pukul 9 Bu
Kulsum menjual dagangannya dengan berjalan mengelilingi kampung hingga sore
hari.
Sedangkan dengan
keterampilan yang dimiliki suaminya bekerja sebagai buruh anyaman, jika tidak
ada pesanan suaminya pun mencari barang rongsokan.
Sehari–hari Bu Kulsum
mendapatkan penghasilan dari hasil berjualan donat, gorengan, dan lauk tidak
pernah lebih dari Rp 100.000, itupun masih harus dipotong modal untuk jualan
esok hari.
Dengan penghasilan yang
juga terkadang tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, Bu Kulsum tidak
memiliki memiliki tempat tinggal, beruntungnya atas bantuan dari seseorang, Bu
Kulsum dan keluarga tinggal di sepetak rumah kecil di tengah perkebunan.
Dengan hanya mengandalkan satu kaki untuk berkeliling kampung, tak jarang membuat kakinya bengkak dan kemudian sulit dipakai untuk berjalan. Namun, kemauannya untuk maju jauh lebih besar dibanding rasa sakit yang beliau rasakan.
Jauh di lubuk hatinya,
Bu Kulsum ingin sekali punya kaki palsu. Mengingat harganya yang sangat mahal,
akhirnya ia urungkan niatnya. Baginya, lebih baik tak memiliki kaki palsu
ketimbang tak bisa makan hari itu.
“Kalau ada kaki palsu,
saya bisa membawa barang jualan lebih banyak lagi karena tidak perlu memegang
tongkat, jadi penghasilan yang bisa saya dapatkan pun lebih besar,” ujarnya.
Sahabat, melihat
semangat hidup Bu Kulsum yang sangat gigih untuk bisa mencukupi kebutuhan
keluarganya mesti ditengah keterbatasan fisik yang dialaminya, yuk bantu Bu
Kulsum dan sahabat disabilitas lainnya untuk hidup lebih baik